Menggunjing, menggosip atau “Ghibah”, adalah perbuatan tercela yang berdampak negatif cukup serius yang dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang, merusak ukhuwah dan memutus tali silaturahim. Seseorang yang berbuat ghibah berarti menebarkan kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Ghibah termasuk sejelek-jelek dosa, ghibah berada dalam murka Alloh, hingga orang itu melakukan ishlah (baikan) dengan korbannya (Kandzul’Ummal Imam al-Hindi III:7929) Sebabnya, karena Ghibah mampu merusak nama baik seseorang dan mencampakkan harga diri korban-korbannya, sehingga sejumlah hadits menyebutnya dengan al-‘Adh’hu (tukang onar), Ghibah juga mengurangi kesempurnaan pahala puasa (an-Nawawi, Syarah Shahir Muslim, Juz 11/175) dan termasuk orang yang muflis (bangkrut) pada hari kiamat dan dapat mengurangi kesempurnaan pahala wudlu dan shalat : al-Ghibah tanqudhu al-wudhu’ wa as-shalah (al- Kanz, Imam al-Hindi, Juz III/8025) Definisi Ghibah Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Alloh sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Alloh berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12) Kendati demikian, ternyata adaa beberapa keadaan dimana seseorang diperbolehkan untuk mengumpat/menggunjing/menggosip, yaitu dimana para ulama mengistilahkannya “Ghibah al-Mubahah”, antara lain ada 6(enam) kriteria pokok : 1. At-Tadzallum : orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang mengzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya, seperti dijelaskan dalam "Alloh tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya, Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS.An-Nisa : 148) 2. Al-Isti'anah'ala taghyiri'l-munkar wa raddu's-ashiy ila as-shawab : meminta bantuan pada pihak lain untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar 3. Al-Istifta : meminta fatwa akan sesuatu hal, supaya mufti tidak keliru mengeluarkan fatwa atau mengajukan solusi, maka pihak pelapor (mustafti) diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang. 4. Tahdziru'l-muslimina mina's-syarri wa nashihatihim : memperingatkan dan menasehati kaum muslimin dari tindak kejahatan seperti : (a) apabila ada perawi, saksi atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma'ulama, kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. (b)apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (pembantu) yang pencuri, peminum dan sejenisnya, sedangkan si pembeli tidak mengetahuinya (c) apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar pada orang yang fasiq atau ahli bid'ah, dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya, maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata-mata. 5. Al-Mujahiru bi'l-fusqi wa'l-bid'ati : menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasiq atau bid'ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, menuntut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya, namun ketika kita menceritakan keburukan itu tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukannya hanya untuk kebaikan. 6. At-Ta'rifu bi's-Syakhsi : menyebut panggilan populer orang, misalnya jika seseorang telah dikenal masyhur oleh masyarakat sekitar dengan julukan-julukan tertentu (si pincang, si pendek, si bisu, si buta atau sebagainya), maka kita boleh memanggilnya dengan julukan tersebut agar orang lain langsung mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya, jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut. |
|
Source :
- Dikutip secara ringkas dari artikel berjudul 'Ghibah' Yang Boleh (Ghibab al-Mubahah), ditulis oleh Syamsul Bahri, Anggota Majelis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia - Majalah Alia No.09 Edisi Maret 2009.
- Artikel Kebun Hikmah.com
Note : Jika kita tidak mengerti sesuatu atas orang lain lebih baik diam, karena diam adalah "emas" yang akan menyelamatkamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar